
Aku termenung mengamati barisan awan. Ada yang salahkah? Tidak! Masih aku ingat cerita tempo hari bersama Mila.
"Ra, kau percaya mitos tentang angka?"ujarnya menyita perhatianku yang sedang menikmati hadirnya senja di balik awan.
"Oh, tidak juga. Memang kenapa?" tanyaku balik menatap ekspresi Mila. Datar.
"Kata orang angka 13 itu sial. Benarkah?" .Aku tak mampu memberi analisa yang kuat. Maka hanya senyum dan bahu terangkat sebagai jawabanku. Orang Jawa. Ya, Jawa sangat kental dengan hitung-hitungan angka. Lihat saja, setiap hajatan,terutama mengenai pernikahan. Para orang tua akan sibuk mencari hari yang baik dengan hitungan angka dan pasaran. Terkadang, aku jengah mendengarnya. Apa sech hubunganya semua itu? Maka tak heran bila orang yang tak percaya mengatakan itu hanya mitor belaka. Semua hari dan angka adalah baik. Aku pun ingin bersikap demikian. Tapi ada hal yang sebenarnya mengusik pikiranku dan itu pun ada kaitanxa dengan angka.
"Li, boleh aku bertanya?".
"Ya, apa yang ingn kau tanyakan, Ra?".
"Berapakali kau mengenal perempuan sebelum aku?" tanyaku hati-hati. Aku pun pura-pura menyibukkan diri untuk mengendalikan gemuruh perasaanku. Menunggu jawabannya.
"Kenapa kau tanyakan itu?"tanyanya balik.
"Keberatan?".
"Tidak. Diam. Kami pun hening bersamaan.
"kau aneh, Ra,kenapa harus bertanya" bisik hati memprotes.
"Haruskah kujawab, Ra?"Ali balik bertanya. Aku mengangguk.
" Ke 3..."sahutnya ringan.
"Oh..."
***
" Kau bertanya itu,Ra?".
"Iya, apa salah?".
"Tidak. Tapi memang kau aneh." ujarnya tak mengerti sikapku. Jawaban Ali memberiku gambaran,bukan. Bukan aku yang pertama dikenalnya. Dan kenyataan yang ada adalah ketiga. Ketiga Zahra! Aku meyakinkan diri. Tak apalah, apa artinya pertama,kedua dan seterusnya. Itu khan hak dia. Aku harus bisa menerimanya. Sejak itu aku tak lagi memusingkan kepala dengan angka. Hingga Mila tiba-tiba bertanya mengenai mitos angka. Sungguh, aku tak pernah punya bayangan akulah yang ketiga hadir dalam hidup Ali. Aku tak perlu merisaukanya. Dan aku tak perlu kecewa. Tuhan punya rencana yang indah bila aku mampu mensyukurinya.
"Tidak ada yang salah Zahra mengenai posisimu!" hati kecilku selalu membela. Aku menutup lembaran masa lalu. Perih kesakitan itu ingin kubalut dengan obat kerinduannya.
"Aku pasti rindukan kau dalam nafas kehidupanku, Ra.". Aku tak membalas pernyataanya. Tidak perlu sekarang atau dia pun pasti tahu apa yang aku inginkan. Aku lelah dan benar2 di ujung lelahku. Menemukanya bagai oase di tengah Gurun Sahara. Meski telah kering, namun dia mampu menyiraminya. Ah, jangan dan jangan jadikan angka itu membelengguku. Aku hanya yakin, tiga adalah terakhir bagiku.
by: Ivonie Zahra
*Cerpen yg aku tulis di atas pesawat Garuda. 21 Juni '09 ketika pulang kampung. Terinspirasi dari percakapanku denganmu.
*gambar:gogling