........................SELAMAT DATANG DI BILIK KECILKU......................

Tuesday, May 25, 2010

Mawar Yang Aku Tinggalkan







“Aku ingin ketemu!” ujarnya keras.
“Maaf, aku sedang sibuk. Lain kali ya,”
“Tidak! Pokoknya sekarang, titik!” rajuknya tak bisa dicegah.
“Aku nggak bisa!”
Klik. Aku matikan ponselku tanpa mengucap sayang seperti biasanya. Sungguh, aku kesal dengan kemauanya. Tidak hanya sekali ini saja dia bersikap demikian. Di mana rasa pengertiannya? Mau menang sendiri! Egois di kedepankan.
***
Aku sudah berusaha menjadi yang terbaik baginya. Ya. Dia memang gadis yang cantik, menarik. Selarik alis bagai bulan sabit terbalik bertengger di atas kelopak matanya yang sempurna. Lelaki mana pun akan tergoda melihatnya. Pesonanya mampu menyihir dan membuat hati bertekuk lutut di hadapannya. Aku mengenal secara tidak sengaja di depan sebuah salon tak jauh dari tempatku tinggal. Hilda namanya, gadis asal Jakarta yang sama-sama merantau di negeri Jiran ini sepertiku. Dan pada akhirnya aku menjadi akrab dengan dia. Gayanya yang supel dan pemberani, sangat mudah membaur dengan siapa saja. Termasuk denganku. Dia sering melihatku bermain musik di setiap pertunjukanku pada sebuah café.
“Penampilanmu keren Kak Arman!” pujinya setelah aku membawakan sebuah lagu.
“Thanks, biasa aja kok Hil.” Aku memilih merendah. Senyum mengambang dari bibirnya yang bisa aku katakan seksi.
Biasanya setelah aku manggung, aku mengajaknya jalan-jalan ke taman atau tetap nongkrong di café tersebut. Menikmati segelas jus atau cappuccino. Dari hari ke hari kian dekat saja. Ledekan teman-temanku sering mengusili.
“Awas ada yang lagi jatuh cintrong euy!” teriak Rudy bikin heboh kost-an.
“Jangan berisik!” sahutku mengacungkan kepalan hendak meninjunya, namun dia keburu melarikan diri.
“Oeiiiii……..oeiiiiii….Arman jatuh cintrong tuch!” teriaknya menjadi-jadi sambil berlarian kayak orang kebelet aja. Aku berusaha mengejarnya, jadilah saling berkejar-kejaran ibarat kucing dengan tikus.
Di sebuah senja yang menawan Hilda meneleponku.
“Kak, nanti malam ada acara gak?” tanyanya dengan nada dilembutkan.
“Nggak ada. Emangnya kenapa Hil?” aku bertanya balik dengan kerutan di dahi. Ada apa gerangan? Gumam hatiku.
“Datang ke café biasanya ya? Mau khan?” rajuknya manja.
“Iya. Aku akan datang. Memangnya ada acara apa?” masih juga bertanya.Penasaran.
“Pokoknya ada dech!” sahutnya lantas mengakhiri pembicaraan. Aku terbengong setelahnya.
Selepas Isya aku berdandan lebih rapi. Teman-teman selalu mengodaku lagi. Biarlah! Peduli amat dengan omongan mereka Amat aja gak peduli he..he..Aku memilih kemeja gaul. Yach, namanya juga diajak ngedate. ups! Dari mana nech kata, kok bisa-bisanya aku jadi sok romantis. Padahal aku memang romantis sech. Cuman aku tak perlu mengumbar sisi romantisku secara berlebihan. Nantinya aku dibilang lelaki penggombal. Alamaak! Janganlah. Aku lelaki baik-baik yang mendamba cinta sejati.
Untuk urusan penampilan, aku tak ketinggalan gaya zaman sekarang. Selalu up to date, meski kadang harus menghabiskan gaji bulananku. Harap dimaklumi setiap aku naik panggung penampilan selalu trendy. Makanya aku selalu jadi bahan gosip gadis-gadis yang melihat aksi panggungku. Arman gitu lho!
Di depan sebuah café, sesosok gadis yang memukau telah menunggu. Duh, masa aku lelaki tak bisa sedikit lebih displin dari dia. Malu juga bila dibilang lelaki karet---waktunya. Dia menyambutku dengan senyum yang membuat jantungku serasa mau copot. Amat menawan.Tidak seperti pertemuan biasanya, kali ini tiba-tiba aku dilanda nervouse. Padahal aku sudah biasa menghadapi banyak gadis-gadis. Tapi kali ini benar-benar lain.
Hilda menyapaku. Aku membalasnya dengan senyuman. Dia mengajakku masuk, namun aku dikejutkan dengan sikapnya. Hilda menggandeng tanganku selayaknya sepasang kekasih yang sedang dilanda asmara. Deg! Jantungku terpacu lebih cepat dari biasanya. Terus terang, sikapnya memang benar-benar berani. Aku belum pernah diperlakukan seperti ini oleh gadis yang aku kenal. Tapi aku mencoba berpikir positif. Atau jangan-jangan dia sedang mempertontokan diriku pada teman-temannya.
Kini giliran aku yang mendominasi keadaan. Aku mengajaknya memilih salah satu kursi yang ada di sudut ruangan. Kesannya memang romantis. Aku mempersilakan Hilda duduk, sungguh seperti adegan-agedan di film-film yang aku tonton. Seorang lelaki dewasa nan romantis menarik kursi dan mempersilakan.Hilda? Seperti seorang Putri saja.
“Mau minum apa, Hil?” tanyaku tanpa basa-basi.
“Apa aja Kak!”
“Ya, apa? Sebutin gitu-lah!” protesku.
“Hmm..cappuccino aja dech.” Sahutnya malu-malu. Aku memanggil seorang waitress untuk melayani pesananku. Selagi menunggu tiba-tiba Hilda beranjak menuju panggung yang tersedia. Yang biasanya tempat aku beraksi. Aku hanya terbengong di kursiku. Tak berapa lama suaranya menggema seantero café. Aku tersipu menatapnya. Apalagi yang akan dia lakukan untukku. Petikan gitar terdengar nyaring, gebukan drum mulai berdentum seirama. Suara Hilda mengalun sehalus beledu. Menyanyi untukku? Aku terkejut dengan aksinya yang tak terduga ini.Lirik lagunya menandakan sebuah ungkapan isi hati. Ini kah kejutan yang dia siapkan untukku?Menembakku dengan sebuah lagu? Betapa bodohnya aku yang tak memahami sinyalnya selama ini.
Usai menyanyi, suara tepuk tangan pengunjung café terdengar riuh sebagai wujud apresiasi aksi Hilda.Luar biasa! Aku menatap pipinya merona merah. Khas gadis sedang menahan malu. Aku mengucapkan terima kasih atas apresiasinya. Aku tak menyangka Hilda bisa melakukan itu untukku. Dan tak aku pungkiri benih-benih itu mulai tumbuh.Aku Jatuh Cinta!
Sejak saat itu, bisa dibilang kami jadian---istilah seorang gadis dan lelaki menjalin hubungan yang istimewa. Hari-hariku terisi oleh kehadiranya. Terkadang aku memintanya menemani sebagai backing vocal grupku. Lengkaplah kebahagiaanku. Ada gadis yang tertambat di hati. Pelipur di kala hatiku resah menjalani roda kehidupan. Menjadi tempat aku berkeluh kesah. Hilda pun sama bahagianya denganku. Harapannya melambung memiliki aku yang seorang vokalis grup band. Dan aku beruntung bisa memiliki gadis secantik dia. Ibarat mawar yang sedang terkembang.
Akan tetapi sebuah hubungan ini pastinya punya arah. Tapi kenyataannya, seiring waktu banyak hal-hal yang aku tahu tentang kepribadiannya. Keras kepala, manja berlebihan dan mau egois tak tertandingi. Aku sempat kewalahan menghadapinya. Mencoba mencari solusi saat pertengkaran harus terjadi. Hingga puncak dari keadaan ini, aku memutuskan meninggalkannya. Aku utarakan baik-baik keputusan ini. Aku tak bisa lagi bersamanya. Dia menangis tersedu-sedu mendengar penuturanku. Meski sempat meminta kesempatan padaku, namun aku telah bulat. Aku memilih untuk sendiri saja, mengobati luka tak terperi ini. Masa bahagia itu hanya menjadi lumbung kenangan. Lambat laun aku harus melupakan meski tak semudah membalik telapak tangan. Aku butuh waktu untuk itu. Dan aku akan bertahan hingga aku menemukan sesorang yang akan membantuku bangkit dari keterpurukan ini.
Teman-teman menyayangkan sikapku meninggalkan Hilda. Gadis secantik itu harus terluka. Aku pikir tidak hanya dia yang terluka, tapi aku juga. Aku tak bisa menjalani dengan sikapnya seperti itu terus-menerus. Aku pernah meminta sedikit saja pengertian darinya. Tapi malah dia yang selalu menuntut perhatianku secara membabi-buta. Aku lelah. Lagi pula aku mendamba seseorang yang bisa membuatku lebih baik dalam segala hal. Bukan malah sebaliknya.
Enam bulan kemudian…
Aku tak sengaja mengenalnya. Berawal dari sapaanku yang biasa. Aku mengenal gadis berjilbab yang memikat hatiku. Luka lama itu tak lagi mengoyak. Dia sempat memprotes fotoku yang terpajang di ruang mayaku. Ah, sangat perhatian! Gadis seperti dia-lah yang aku cari selama ini. Namun sungguh di luar dugaan. Ketika aku menyatakan perasaanku dan memintanya menjadi kekasihku. Dia menolakku mentah-mentah.
“Dalam agama tidak ada istilah PACARAN!” tegas dilontarkanya.
“Memang kenapa?” desakku meminta alasan.
“Pokoknya tidak boleh!” masih mempertahankan pendapatnya.

Sejak itu aku tak lagi berani mengungkit-ungkit mengenai pacaran. Aku belajar memahami sikapnya. Keras kepala untuk kebaikan. Namun bukan Arman namanya kalau masalah segini saja menyerah.Tidak! aku menginginkannya. Tak akan aku lepas selagi mampu menakhlukan hatinya.Bisa? harus bisa.Caranya? Akan aku ikuti kemauanya.Cinta tak harus membutuhkan status formal.Dan, ah mawar-ku aku telah meninggalkannya.Cinta kita berbeda, dan kini cinta yang kudamba ada dihadapan mataku.

By: Ivonie Zahra

Cerpen yang aku tulis ketika waktu mengantarkan aku mengenalmu. Mungkin, kau lupa ataukah masih ingat? sebuah pernyataan yang aku simpan di batok kepala hingga kini.
"Aku tidak mencari pacar, tetapi pendamping hidup sama halnya denganmu..."
Sedangkan cerpen ini terinspirasi dari seseorang yang membuatku terpuruk dan Tuhan mengirimmu untukku saat itu.

7 komentar:

Anonymous said...

waduhhh panjang bener ni...izin copy paste, buat baca print outx aja...hehehehe

ivonie said...

@iezul: Yeah, namanya juga cerpen.
Oke, silakan. Kalau sudah kelar bacanya, harus datang lagi bawa komentar baru.
Ditunggu ^^

Zico Alviandri said...

"Akan aku ikuti kemauanya" Kata Arman.

Boleh... kalo kemauannya menikah dengan pria lain, si Arman harus sabar ya.. :D

ivonie said...

@Zico: Andai itu kejadian beneran..semoga saja.
Anggap belum jodoh hehe
terima kasih kunjungan dan komentarnya ^_^

syafwan said...

ini buat lomba ya

ivonie said...

@syafwan: bukan...yang buat lomba belum jadi :D

Anonymous said...

maaf baru sempat berkunjung mbak :)

baca postingan mbak dari yang terbaru ampe yang ini, komen: hmm.. gaya bahasanya unik juga :) selalu seperti itu ya? saya jadi bingung mau komennya gimana hehe

Post a Comment